3 Tahun Usia UU Administrasi Kependudukan

Pada saat diundangkannya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan RI tanggal 29 Desember 2006, perasaan pesimis dan penuh keraguan terlintas dalam benak penulis, sebab dengan diundangkannya UU ini yang terdiri dari 14 Bab dan 107 pasal dan mengatur serta mendokumentasikan segala peristiwa penting yang dialami penduduk seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan perpindahan penduduk serta perubahan status kewarganegaraan penduduk Indonesia. Apakah akan dapat terwujud dalam tempo lima tahun sejak UU ini diundangkan? Sementara kewenangan untuk melaksanakan pendokumentasian administrasi kependudukan adalah pada tingkat Pemerintahan Kabupaten/kota. Keraguan penulis tersebut bukan tidak beralasan. Sebab kalau kita lihat dari kesadaran dan ketaatan masyarakat, serta aparat pemerintah terhadap peraturan Administrasi Kependudukan masih sangat rendah. Padahal tempat proses pendokumentasiannya masih dekat dengan masyarakat yaitu pada tingkat kecamatan. Sebagai contoh lihat saja bagaimana banyaknya masyarakat yang memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masa berlakunya sudah kadaluarsa, lihat saja bagaimana banyaknya orang meninggal dunia tidak dilaporkan oleh ahli warisnya, lihat saja bagaimana banyaknya penduduk yang bertempat tinggal di Desa A tapi memiliki KTP di Desa B, lihat saja bagaimana mudahnya aparat pemerintah menerbitkan KTP (ingat peristiwa KTP untuk mendapatkan kuota haji di provinsi tertentu, ingat peristiwa adanya KTP yang diterbitkan kepada seseorang hanya untuk memenuhi persaratan menjadi peserta Pekan Olahraga Nasional/Pekan Olahraga Daerah (PON/PORDA) dari daerah tertentu yang hingga sekarang oknum aparatnya tidak ditindak sesuai hukum yang berlaku?) Adanya kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada saat Pemilu legislatif lalu, serta Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak diambil dan penerima Beras Miskin (Raskin) oleh warga yang tidak pantas menerimanya, adalah indikator bahwa administrasi kependudukan kita belum jalan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 23 Tahun 2006. Dan adanya keluhan masyarakat Kecamatan Paliyan Gunungkidul Yogyakarta yang terungkap dalam mass media cetak, adalah merupakan bukti bagaimana repotnya menyampaikan dan mendapatkan dokumen kependudukan dari dan kepada pemerintah. Penulis dapat memastikan bahwa masyarakat di luar Daerah Istimewa Yogyakarta merasakan lebih repot menyampaikan dan mendapatkan dokumen kependudukan, karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Untuk mendapatkan dan mewujudkan dokumen Administrasi Kependudukan yang valid, pemerintah harus mengambil langkah antara lain :Pertama, pemerintah bersama DPR harus secepatnya mengadakan perubahan/revisi terhadap UU No. 23/2006 khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang kedudukan dan keberadaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) instansi Pelaksana dari tingkat Kecamatan menjadi Tingkat Kelurahan/Desa diseluruh Indonesia, dan ditiap kantor Kedutaan untuk luar negeri.Kedua, pemerintah harus menempatkan petugas yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan mampu menggunakan peralatan Teknologi Informasi/internet pada setiap UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23/2006.Ketiga, pemerintah harus menyediakan perangkat lunak untuk terwujudnya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).Keempat, pemerintah harus mengangkat para ketua Rukun Tetangga (RT) untuk menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan honor sebesar UMR setempat yang dialokasikan dari APBN dan APBD. Serta diberi tugas dan tanggung jawab untuk mendata, mendokumentasikan dokumen kependudukan warga, diberi wewenang untuk menjadi Penyidik Pembantu Pagwai Negeri Sipil dalam wilayahnya sendiri. Kelima, penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Administrasi Kependudukan harus benar-benar dijalankan.Keenam, meningkatkan kegiatan sosialisasi UU No. 23/2006.Ketujuh, alangkah baiknya dokumen-dokumen kependudukan yang telah ditentukan dalam pasal 58 ditambah sehingga dokumennya semakin lengkap, yaitu memuat tentang gaji/ penghasilan pokok dan tentang kekayaan barang tak bergerak. Dengan mengambil langkah-langkah tersebut diatas, penulis yakin Administrasi Kependudukan di negara kita tercinta ini akan valid serta dapat dipertanggungjawabkan dan dijadikan data untuk mengambil kebijaksanaan dalam pelayanan publik dan pemabangunan sektor lain sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 23/2006. Negara yang mempunyai data Administrasi Kependudukan yang valid akan mempermudah pemerintahannya untuk membuat program kerjanya dan pasti berhasil, sebaliknya negara yang Administrasi Kependudukannya tidak tertata dan semrawut pastilah program kerjanya dan hasilnya akan semrawut dan gagal, atau sebaliknya menjadi Tidak Tepat Guna. Akhirnya dengan memperhatikan kejadian-kejadian dan kelemahan yang ada seputar data/ dokumen kependudukan Indonesia, seperti adanya kasus DPT, adanya BLT yang diterima oleh orang mampu, adanya Raskin yang diterima oleh perangkat desa bahkan PNS (Miskin Akibat Mental), adanya penerimaan kompor gas oleh orang kaya yang telah mempunyai gas sebelumnya.

Penulis ingin menyampaikan harapan kepada Capres dan Cawapres yang nantyi terpilih agar memberi perhatian terhadap pelaksanaan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan ini. Sehingga terwujud program pemerintah yang Tepat Guna dengan biaya seefisien mungkin.

(Penulis Advokat di Yogya) Dikutip dari Harian Kedaulatan Rakyat, Yogya (22/6/09)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

0 comments